Pernah ngga sih kamu dihadapkan pada situasi dimana kamu harus memutuskan hal yang terbaik buat dirimu sendiri? Dan mungkin untuk orang lain juga? Ketika tidak ada orang disekitarmu yang bisa membantumu untuk memberikan keputusan itu karena hanya kamu yang tahu jawabannya. Karena hanya kamu yang bisa merasakan. Dan karena hanya kamu satu-satunya orang yang menjalaninya.
Ini yang pertama buatku. Dan rasanya...... sulittt sekalii. Atau bahkan, it does hurt.
It feels like everything is wrong but you just simply don’t want to let it go that easy because you have once fought for it so hard. Bagaimana bisa aku dengan mudahnya melepas sesuatu yang dulu pernah aku anggap bisa menjadi ‘sesuatu’? Saat itu aku percaya bahwa aku bisa. Dan bahwa aku hanya akan tahu hasilnya dengan berani mencoba. Membuka pintu kesempatan yang belum pernah aku buka sebelumnya.
I’ve been thinking like every single day just so I know what I should do. What is the best way for this. But, it seems like there is no one best way karena bagaimanapun aku berusaha bertahan dalam apapun yang terjadi, sabar, menerima, mendengarkan, dan apapun itu ternyata tidak pernah cukup. Tidak pernah ada kata cukup untuk semuanya. Enough is just too much. Anyhow, both of us are hurts. :’(
Dan aku mulai merenung. Merenung lebih dalam. Mencari tahu apa yang hilang.
Dulu, ketika mempertahankannya menjadi sesuatu yang aku perjuangkan, kini aku mempertanyakan bagaimana bisa rasa lelah yang sangat itu hadir begitu cepat. Menyedot setiap tenaga yang aku punya tanpa aku bisa melawan. Menyerahkan semuanya kepada waktu. Que sera sera.
Dulu, ketika aku bisa dengan rela mengalah, kini aku mempertanyakan kemana rasa itu pergi digantikan dengan egoisme. Bahwa aku ingin didengar juga. Bahwa untuk sekali ini, biarkan aku punya pendapatku sendiri. Bisakah?
Dulu, ketika menganguminya adalah mudah, kini aku mempertanyakan kemana menguapnya rasa itu. Mungkin itu menguap bersama setiap kata yang pernah terucap tanpa titik koma. Mungkin itu menguap bersama setiap janji yang tak pernah terwujud.
Dulu, ketika hanya indah yang ditawarkan, kini aku mempertanyakan kemana indah itu menghilang? Digantikan dengan teriakan, tudingan, pertengkaran, umpatan, lemparan, tarikan, dan, hinaan.
Dulu, ketika perbedaan itu menjadi sebuah fondasi yang aku mimpikan dapat memperkaya malah menjadi sesuatu yang akhirnya mengandaskan. Perdebatan tanpa ujung hanya karena perbedaan. Pertengkaran tanpa solusi yang tak ada henti. Mengapa perbedaan bisa menjadi begitu menyakitkan? Menjadi hal yang tak bisa terbantahkan?
Dulu, ketika cinta dijadikan modal dasar untuk maju. Apapun yang terjadi aku harus percaya bahwa cinta itu cukup. Untuk maju. Untukmu. Untukku. Tapi lalu aku bertanya apakah semua dapat dibenarkan hanya karena seseorang mengatasnamakan cinta? Apakah masih ada rasa peduli jika ternyata cinta yang dberikan itu malah menyakiti?
Dulu, ketika peduli itu begitu kuat terasa dalam sehari-hari, lalu aku harus memaksakan diri untuk menjadi dingin. Untuk menjadi diam. Untuk menjadi jahat. Demi kamu. I feel terrible. I’m devastated now. :’(
Lalu, aku sendiri belajar bahwa air mata itu tidak akan membantu merubah apapun. Seberapapun banyak air mata yang tumpah ruah, percuma. Yes, we will feel better after crying, but it doesn’t change anything. Karena esok hari dengan matahari yang sama dan gelap yang sama, rasa itu hadir lagi, bayang itu tetap sama, dan semuanya tetap buram. Just face it because maybe this is what people called : move on.
Dan pada akhirnya, semua orang berubah. Sekecil apapun perubahan itu, SEMUA orang berubah. Jangan tanya kenapa karena aku sendiripun tidak punya jawabannya.
Sampai jumpa. Sampai jumpa hingga kita memang ditakdirkan berjumpa lagi. Semoga ketika saat itu datang aku sudah lebih dewasa karena mungkin saat ini aku hanya anak kemarin sore yang masih buta. Tidak ada pegangan kemana harus melangkah. Tidak menemukan tuntunan harus bagaimana berjalan dalam gelap.
Aku hanya berharap kamu baik-baik saja disana. Kamu tahu kemana harus mencariku.
See you later when i see you :”)
R.