The Belief of Yours
it was one of my short stories that I wrote a year ago. yet, every time i read it again and again, it gives my strength back. hope you can feel it too after you read it. enjoy (:
Aku memandang ke arah luar jendela. Entah apa yang sedang dibicarakan oleh Mama dengan dokter muda itu. Mungkin dia dokter pengganti yang dibicarakan suster Astuti tadi pagi. Yang pasti, tiba-tiba saja dokter yang menangani penyakitku mengajukan pengunduran diri terhadap kasusku. Alasannya, urusan keluarga! Bah, jaman sekarang apa masih ada ya alasan yang namanya urusan keluarga??
"Clara, Mama pulang dulu ya. Ambil baju-baju ganti yang baru buat kamu, sekalian mama mandi dan masak yang enak buat kamu. Mama tahu kamu pasti udah bosen sama makanan rumah sakit kan?" Mama tersenyum meski matanya masih merah dan bengkak karena menangis semalaman.
Aku hanya tersenyum kecil. Maafkan aku, Ma. Mama pasti sedih karena keputusanku tadi malam. Batinku miris.
Seperginya mama, dokter muda itu masih terus memandangiku dari pintu kamarku. Lama-lama aku merasa risih. "Kenapa sih, Dok, dari tadi kok diem di depan pintu aja? Masuk aja kalau emang mau masuk." kataku berusaha sopan.
"Hem, Clara," Dokter itu diam sejenak sambil membaca laporan status pasien milikku yang dipegangnya. "leukimia stadium tiga. Tidak mau operasi dan tidak mau melakukan kemoterapi. Apa itu semua benar?"
Aku terdiam sejenak. Entah kenapa, aura dokter ini terasa kuat sekali. Orang jaman sekarang sih bilangnya charming. Apa aku salah tingkah ya? "Benar, Dok."
"Boleh tahu alasannya kenapa?" tanyanya sambil berjalan semakin mendekat lalu duduk di tepi ranjangku.
Aku tersenyum sinis. "Alasannya simpel banget kali, Dok. Uang." jawabku pasti.
"Tapi orangtuamu mampu membayar operasimu, Clara, dan kamu masih bisa sembuh.."
"Ya, dengan kesempatan 50-50 kan?" potongku cepat. Aku cukup tahu resiko apa yang harus aku tanggung, Dok.
"Tapi, itu tetap kesempatan kan? Daripada nol persen?" Dokter itu tersenyum. Ganteng juga nih dokter. Hanya saja, wajahnya agak pucat jika dilihat dari jarak sedekat ini.
"Kasihan Mama Papa, Dok.. kalau operasinya gagal.."
"Kenapa kamu berpikir operasinya akan gagal?"
"Karena kita, manusia, harus selalu melihat dari segi kemungkinan terburuk yang akan terjadi dong, Dok.."
"Terus kalau operasinya berhasil?" Dokter itu teteup aja keukeh.
"Apa dokter bicara seperti ini karena suruhan mama? Udahlah, Dok, keputusan Saya udah seratus persen. Saya mau pulang aja. Mau menikmati sisa hidup Saya." kupalingkan wajahku ke arah lain. Ingin sekali aku menangis. Siapa yang mau punya penyakit seperti ini??? Aku anak tunggal di keluargaku. Aku mencintai kedua orangtuaku. Aku belum bisa membalas semua kebaikan dan pengorbanan yang sudah mereka berikan padaku. Lalu tiba-tiba vonis itu datang begitu saja, bahwa aku mengidap leukimia dan waktu hidupku diperkirakan tinggal satu tahun lagi.
Padahal, tahun depan aku tinggal mengurus skripsi kuliahku. Tahun depan, aku masih ingin bekerja, sama seperti teman-teman yang lain. Ingin merasakan bagaimana rasanya jadi pegawai biasa yang dibentak-bentak atasan, meski Papa ngotot kalau aku cukup bekerja di perusahan Papa yang super duper besar itu.
Aku masih ingin merasakan yang namanya jatuh cinta, karena selama ini aku selalu berprinsip bahwa pelajaran lebih utama dan selama masih muda, carilah teman sebanyak mungkin, masih ingin merasakan nikmatnya shopping bersama sahabat-sahabat tercintaku, Siska, Anna, dan Kimi, juga ingin nongkrong di kafe-kafe langgananku, ingin bermain bersama anak-anak asuhku..
"Kadang Saya ngga habis pikir bahwa orang sepesimis kamu bisa memiliki yayasan asuh anak terlantar sebesar Yayasan Kasih." kutoleh dokter itu cepat. Ia berdiri dan berjalan ke arah jendela kamar yang menghadap ke taman. Aku benar-benar terkejut. Bagaimana dia tahu?? Hanya keluarga dan sahabat-sahabatku yang tahu tentang hal itu.
"Darimana Dokter tahu? Apa dari Mama?" selidikku.
"Percaya atau tidak, Saya punya indera keenam." Dokter itu tersenyum lagi. Duh, gantengnya.
"Saya ngga percaya yang begituan, Dok."
"Hahaha. Saya cukup tahu kamu, Clara. Details paper. Tapi tidak secara personal."
"Dokter menyelidiki Saya?" aku memicingkan mata curiga.
"Clara, langsung saja ke pokok permasalahan, lakukan operasi itu." tatapannya benar-benar tajam.
"Kenapa, Dok?? Saya ngga mau kecewa."
"Ada beribu-ribu bahkan berjuta-juta alasan kenapa kamu harus melakukan operasi, Clara. Kenapa kamu harus sembuh."
"Name it." tantangku.
"Oke. Pertama, siapa yang akan mengurus kedua orangtuamu jika kamu harus pergi sekarang? Kedua, bagaimana perasaan kedua orangtuamu, keluarga, kerabat dekat, sahabat, dan teman-temanmu jika harus kehilangan kamu? Bahkan orang yang membenci kamu? Mereka pasti kehilangan saingan yang cukup berat.." penjelasannya berhenti sejenak.
Mau tak mau aku tersenyum mendengar penjelasan terkahirnya. "Not bad.."
"Ketiga, siapa yang akan mengurus yayasanmu? Tentu kamu tahu, tidak ada yang menyayangi anak-anak lebih besar dari kasih ibu kandungnya sendiri. Bagaimana perasaan mereka juga? Kehilangan sosok sandaran yang nantinya bisa mereka banggakan, mereka pamerkan pada teman-teman mereka? Well, count that as four and five.
"Wowowo.. kalau itu berlebihan bagnet, Dok." sejak tadi Clara tak berhenti tersenyum. Senang juga rasanya dipuji-puji terus seperti ini. Rasanya, tidak pernah ada orang yang pernah melihat detil kebaikannya hingga sedetil ini.
"Tapi itu memang kenyataan, Clara. Kamu kaya. Siapa yang mau membantah? Tapi di usia mu yang dini, kamu sudah bisa mendirikan Yayasan Kasih, meski tak lepas dari peran orangtuamu. Bisa menjadi panutan teman-temanmu bahwa menjadi orang kaya tidak harus berpenampilan mewah dan hidup glamor. Ikut berpartisipasi dalam banyak kegiatan sosial.."
"Itu semua ajaran Mama dan Papa. Cukup memuji Saya, Dok." mukaku bersemu merah pastinya sekarang. Malu abiss.
"Jadi, perlu saya teruskan sampai seribu??" kali ini dokter itu yang menantang.
Aku menggeleng cepat. "Saya percaya details paper Dokter pasti tebel banget." tak lupa tersenyum manis.
"Kamu tahu, Clara, menyerah dan pasrah tanpa melakukan usaha apapun itu juga berdosa, karena itu berarti kamu tidak menghargai apa yang kamu punya. Tidak menghargai orang yang telah ditemukan orangtuamu yang mau mendonorkan sum-sum tulang belakangnya, tidak menghargai orangtuamu yang tentu sudah bersusah payah mengumpulkan uang supaya kamu bisa operasi, tidak menghargai doa dan dukungan teman-teman, keluarga, anak asuh.."
"Oke.. oke.. cukup.. Dokter ini bener-bener mau ngebuat Saya merasa bersalah banget ya??" ejekku tapi tetap sambil tersenyum. Yap, aku sama sekali tidak marah. Semua yang dikatakan Dokter ini benar. Benar semuanya. Ya Tuhan, ampuni hambaMu yang tidak tahu berterimakasih ini. Setan apa yang merasuki pikiranku waktu itu ya??
"Hahaha. Lihatlah bahwa ada banyak orang yang belum siap kehilangan kamu, Clara. Termasuk Saya." dengan posisinya yang kembali menghadap ke taman, aku tidak bisa melihat raut mukanya. Apakah dia serius? Well,
"Maksud Dokter?"
"Kamu berjanji mau melakukan operasi, Clara?" dia mengalihkan topik pembicaraan.
"Tapi, tadi.."
"Berjanjilah kamu mau melakukan operasi, Clara. Miracle does happen to those who belief." Aku menganggukan kepala tanpa sadar karena melihat tatapannya. Matanya yang bulat dan jernih itu.
"Saya tahu. Janji seorang Clara pasti ditepati." katanya tersenyum. Makin gantennggg deh, Dokk!! "Satu lagi, Clara.."
"Yaitu?"
"Berjanjilah kalau kamu akan berusaha bertahan. Berusaha melakukan yang terbaik di meja operasi." kini jelas, matanya pun menyiratkan kekhawatiran.
Aku mengagguk sekali lagi. "Pasti, Dok."
"Saya lega mendengarnya, Clara. Tugas Saya sudah selesai disini." Dokter itu melepas baju dokternya dan melemparkannya ke sofa di pojok ruangan. Aku kebingungan menatap dokter itu.
"Lho, lho.. maksud Dokter?"
"Aku bukan dokter, Clara. Aku hanya seorang laki-laki biasa yang kebetulan lewat didepan kamar kamu." wow, sekarang ngomongnya jadi aku-kamu nih. Okay dehh..
"Jadi, kamu siapa? Malaikat penyelamat?" senyumku masih mengembang.
"We'll find out later, Clara, because I'm going to come back here and claim your promise." sahutnya renyah sambil berjalan keluar kamarku.
"Tunggu. Ngga bisa gitu dong. Masa aku ditinggal disini sendirian?" ya ampun. jangan bilang aku lagi flirting ke dia.
"Believe me, the first person you'll see after those operation is me. And my name is Dome, by the way.. Have a good day, Clara. Remember to fulfill your promise.." dia melambai lalu menghilang dari depan pintu kamarku. Dome? Dome siapaa?? apa aku pernah tahu dia??
Pikiranku hanya teralihkan sebentar sebelum suara teriakan Mama dan Papa mengagetkanku. "Claraaaa, sayangg... bener kamu mau di operasi sayang??? Serius kann?? Dome bilang.. ups."
"Hayoooo... Mama kenal Dome yaa?? Berarti Dome suruhan Mama kannn??? Cepet banget tahu aku mau dioperasii??" tak kusembunyikan tawa bahagiaku. Dan melihat wajah Mama dan Papa yang begitu senang dan gembira, aku akan melakukan apapun untuk tetap melihat mereka seperti itu.
Apapun.
29 Januari 2010
01.53
Singapore Time
Copyright by Kezia Renata
"Clara, Mama pulang dulu ya. Ambil baju-baju ganti yang baru buat kamu, sekalian mama mandi dan masak yang enak buat kamu. Mama tahu kamu pasti udah bosen sama makanan rumah sakit kan?" Mama tersenyum meski matanya masih merah dan bengkak karena menangis semalaman.
Aku hanya tersenyum kecil. Maafkan aku, Ma. Mama pasti sedih karena keputusanku tadi malam. Batinku miris.
Seperginya mama, dokter muda itu masih terus memandangiku dari pintu kamarku. Lama-lama aku merasa risih. "Kenapa sih, Dok, dari tadi kok diem di depan pintu aja? Masuk aja kalau emang mau masuk." kataku berusaha sopan.
"Hem, Clara," Dokter itu diam sejenak sambil membaca laporan status pasien milikku yang dipegangnya. "leukimia stadium tiga. Tidak mau operasi dan tidak mau melakukan kemoterapi. Apa itu semua benar?"
Aku terdiam sejenak. Entah kenapa, aura dokter ini terasa kuat sekali. Orang jaman sekarang sih bilangnya charming. Apa aku salah tingkah ya? "Benar, Dok."
"Boleh tahu alasannya kenapa?" tanyanya sambil berjalan semakin mendekat lalu duduk di tepi ranjangku.
Aku tersenyum sinis. "Alasannya simpel banget kali, Dok. Uang." jawabku pasti.
"Tapi orangtuamu mampu membayar operasimu, Clara, dan kamu masih bisa sembuh.."
"Ya, dengan kesempatan 50-50 kan?" potongku cepat. Aku cukup tahu resiko apa yang harus aku tanggung, Dok.
"Tapi, itu tetap kesempatan kan? Daripada nol persen?" Dokter itu tersenyum. Ganteng juga nih dokter. Hanya saja, wajahnya agak pucat jika dilihat dari jarak sedekat ini.
"Kasihan Mama Papa, Dok.. kalau operasinya gagal.."
"Kenapa kamu berpikir operasinya akan gagal?"
"Karena kita, manusia, harus selalu melihat dari segi kemungkinan terburuk yang akan terjadi dong, Dok.."
"Terus kalau operasinya berhasil?" Dokter itu teteup aja keukeh.
"Apa dokter bicara seperti ini karena suruhan mama? Udahlah, Dok, keputusan Saya udah seratus persen. Saya mau pulang aja. Mau menikmati sisa hidup Saya." kupalingkan wajahku ke arah lain. Ingin sekali aku menangis. Siapa yang mau punya penyakit seperti ini??? Aku anak tunggal di keluargaku. Aku mencintai kedua orangtuaku. Aku belum bisa membalas semua kebaikan dan pengorbanan yang sudah mereka berikan padaku. Lalu tiba-tiba vonis itu datang begitu saja, bahwa aku mengidap leukimia dan waktu hidupku diperkirakan tinggal satu tahun lagi.
Padahal, tahun depan aku tinggal mengurus skripsi kuliahku. Tahun depan, aku masih ingin bekerja, sama seperti teman-teman yang lain. Ingin merasakan bagaimana rasanya jadi pegawai biasa yang dibentak-bentak atasan, meski Papa ngotot kalau aku cukup bekerja di perusahan Papa yang super duper besar itu.
Aku masih ingin merasakan yang namanya jatuh cinta, karena selama ini aku selalu berprinsip bahwa pelajaran lebih utama dan selama masih muda, carilah teman sebanyak mungkin, masih ingin merasakan nikmatnya shopping bersama sahabat-sahabat tercintaku, Siska, Anna, dan Kimi, juga ingin nongkrong di kafe-kafe langgananku, ingin bermain bersama anak-anak asuhku..
"Kadang Saya ngga habis pikir bahwa orang sepesimis kamu bisa memiliki yayasan asuh anak terlantar sebesar Yayasan Kasih." kutoleh dokter itu cepat. Ia berdiri dan berjalan ke arah jendela kamar yang menghadap ke taman. Aku benar-benar terkejut. Bagaimana dia tahu?? Hanya keluarga dan sahabat-sahabatku yang tahu tentang hal itu.
"Darimana Dokter tahu? Apa dari Mama?" selidikku.
"Percaya atau tidak, Saya punya indera keenam." Dokter itu tersenyum lagi. Duh, gantengnya.
"Saya ngga percaya yang begituan, Dok."
"Hahaha. Saya cukup tahu kamu, Clara. Details paper. Tapi tidak secara personal."
"Dokter menyelidiki Saya?" aku memicingkan mata curiga.
"Clara, langsung saja ke pokok permasalahan, lakukan operasi itu." tatapannya benar-benar tajam.
"Kenapa, Dok?? Saya ngga mau kecewa."
"Ada beribu-ribu bahkan berjuta-juta alasan kenapa kamu harus melakukan operasi, Clara. Kenapa kamu harus sembuh."
"Name it." tantangku.
"Oke. Pertama, siapa yang akan mengurus kedua orangtuamu jika kamu harus pergi sekarang? Kedua, bagaimana perasaan kedua orangtuamu, keluarga, kerabat dekat, sahabat, dan teman-temanmu jika harus kehilangan kamu? Bahkan orang yang membenci kamu? Mereka pasti kehilangan saingan yang cukup berat.." penjelasannya berhenti sejenak.
Mau tak mau aku tersenyum mendengar penjelasan terkahirnya. "Not bad.."
"Ketiga, siapa yang akan mengurus yayasanmu? Tentu kamu tahu, tidak ada yang menyayangi anak-anak lebih besar dari kasih ibu kandungnya sendiri. Bagaimana perasaan mereka juga? Kehilangan sosok sandaran yang nantinya bisa mereka banggakan, mereka pamerkan pada teman-teman mereka? Well, count that as four and five.
"Wowowo.. kalau itu berlebihan bagnet, Dok." sejak tadi Clara tak berhenti tersenyum. Senang juga rasanya dipuji-puji terus seperti ini. Rasanya, tidak pernah ada orang yang pernah melihat detil kebaikannya hingga sedetil ini.
"Tapi itu memang kenyataan, Clara. Kamu kaya. Siapa yang mau membantah? Tapi di usia mu yang dini, kamu sudah bisa mendirikan Yayasan Kasih, meski tak lepas dari peran orangtuamu. Bisa menjadi panutan teman-temanmu bahwa menjadi orang kaya tidak harus berpenampilan mewah dan hidup glamor. Ikut berpartisipasi dalam banyak kegiatan sosial.."
"Itu semua ajaran Mama dan Papa. Cukup memuji Saya, Dok." mukaku bersemu merah pastinya sekarang. Malu abiss.
"Jadi, perlu saya teruskan sampai seribu??" kali ini dokter itu yang menantang.
Aku menggeleng cepat. "Saya percaya details paper Dokter pasti tebel banget." tak lupa tersenyum manis.
"Kamu tahu, Clara, menyerah dan pasrah tanpa melakukan usaha apapun itu juga berdosa, karena itu berarti kamu tidak menghargai apa yang kamu punya. Tidak menghargai orang yang telah ditemukan orangtuamu yang mau mendonorkan sum-sum tulang belakangnya, tidak menghargai orangtuamu yang tentu sudah bersusah payah mengumpulkan uang supaya kamu bisa operasi, tidak menghargai doa dan dukungan teman-teman, keluarga, anak asuh.."
"Oke.. oke.. cukup.. Dokter ini bener-bener mau ngebuat Saya merasa bersalah banget ya??" ejekku tapi tetap sambil tersenyum. Yap, aku sama sekali tidak marah. Semua yang dikatakan Dokter ini benar. Benar semuanya. Ya Tuhan, ampuni hambaMu yang tidak tahu berterimakasih ini. Setan apa yang merasuki pikiranku waktu itu ya??
"Hahaha. Lihatlah bahwa ada banyak orang yang belum siap kehilangan kamu, Clara. Termasuk Saya." dengan posisinya yang kembali menghadap ke taman, aku tidak bisa melihat raut mukanya. Apakah dia serius? Well,
"Maksud Dokter?"
"Kamu berjanji mau melakukan operasi, Clara?" dia mengalihkan topik pembicaraan.
"Tapi, tadi.."
"Berjanjilah kamu mau melakukan operasi, Clara. Miracle does happen to those who belief." Aku menganggukan kepala tanpa sadar karena melihat tatapannya. Matanya yang bulat dan jernih itu.
"Saya tahu. Janji seorang Clara pasti ditepati." katanya tersenyum. Makin gantennggg deh, Dokk!! "Satu lagi, Clara.."
"Yaitu?"
"Berjanjilah kalau kamu akan berusaha bertahan. Berusaha melakukan yang terbaik di meja operasi." kini jelas, matanya pun menyiratkan kekhawatiran.
Aku mengagguk sekali lagi. "Pasti, Dok."
"Saya lega mendengarnya, Clara. Tugas Saya sudah selesai disini." Dokter itu melepas baju dokternya dan melemparkannya ke sofa di pojok ruangan. Aku kebingungan menatap dokter itu.
"Lho, lho.. maksud Dokter?"
"Aku bukan dokter, Clara. Aku hanya seorang laki-laki biasa yang kebetulan lewat didepan kamar kamu." wow, sekarang ngomongnya jadi aku-kamu nih. Okay dehh..
"Jadi, kamu siapa? Malaikat penyelamat?" senyumku masih mengembang.
"We'll find out later, Clara, because I'm going to come back here and claim your promise." sahutnya renyah sambil berjalan keluar kamarku.
"Tunggu. Ngga bisa gitu dong. Masa aku ditinggal disini sendirian?" ya ampun. jangan bilang aku lagi flirting ke dia.
"Believe me, the first person you'll see after those operation is me. And my name is Dome, by the way.. Have a good day, Clara. Remember to fulfill your promise.." dia melambai lalu menghilang dari depan pintu kamarku. Dome? Dome siapaa?? apa aku pernah tahu dia??
Pikiranku hanya teralihkan sebentar sebelum suara teriakan Mama dan Papa mengagetkanku. "Claraaaa, sayangg... bener kamu mau di operasi sayang??? Serius kann?? Dome bilang.. ups."
"Hayoooo... Mama kenal Dome yaa?? Berarti Dome suruhan Mama kannn??? Cepet banget tahu aku mau dioperasii??" tak kusembunyikan tawa bahagiaku. Dan melihat wajah Mama dan Papa yang begitu senang dan gembira, aku akan melakukan apapun untuk tetap melihat mereka seperti itu.
Apapun.
29 Januari 2010
01.53
Singapore Time
Copyright by Kezia Renata
0 shoutouts