• Home
  • About
  • Contact
    • Category
    • Category
    • Category
  • Shop
  • Advertise

scene

we have nothing to define our relationship when you gave me the song.



and I just said,


then the question now are how long will you wait and will I los(v)e you at the end?
Share
Tweet
Pin
Share
No shoutouts
Hi all..

Yesterday I decided to contribute in Ubud writer festival.
I sent one of my short story which I wrote on October 2008 and haven't ever published on any media before.
I attached the story below just in case you can't open the website.
Besides, can you do me a little favour?

Please vote for my story and maybe you can tell your friends about it and ask them to vote too (:

You can vote it by giving thumbs up or thumbs down on this link: http://flashfiction.ubudwriterfestival.com/2010/09/usai-13/

Yes, I'm writting it in Indonesia.
However, you can use google translator if you wanna read it on your own language which is provided on the top of your screen.

Thank you a lot, friends.

Anyway, here's the story for your reference.

Aku takkan pernah melupakan hari ini. Melihat satu-satunya wanita yang kucintai, berjalan perlahan menuju ke altar gereja dengan iringan musik yang sudah sangat tak asing bagi siapapun. Lihatlah dia. Begitu cantik, bersinar, dan sangat anggun. Tak pernah kubayangkan bahwa aku pernah memiliki wanita sehebat itu. Bermimpi pun tidak.

Seluruh umat di Gereja yang mungkin berisi hampir 200 orang itu, tak melewatkan sedetik pun tanpa memandangnya. Para pria tak henti-hentinya memandang dari ujung kaki ke ujung kepala, entah apa yang mereka pikirkan. Jelas, rasanya ingin kubunuh mereka karena rasa cemburu, tapi tak kuingkari bahwa aku bangga pula melihat gadisku begitu dipuja. Sedangkan para wanita memandang dengan tatapan penuh iri, namun mengakui bahwa gadisku memang mengagumkan.

Musik berhenti mengalun. Kini suasana menjadi lebih khusuk dan terasa begitu... magis. Kutatap penuh cinta wanita dihadapanku ini, yang tersenyum dengan manisnya. Sejak dulu hingga sekarang, rasanya tak pernah kulihat senyumnya yang sebahagia ini. Namun, tak kusangkal aku menjadi sedih. Bahagiakah ia sekarang??

“I love you.” bisiknya pelan sambil tersenyum nakal. Ya Tuhan, sejak kapan ia berani seperti itu?
“Kalian siap?” bisik sang Pastur pelan. Aku pun secara otomatis mengangguk kecil.
“Hari ini, dengan kuasa-Nya, kita dikumpulkan untuk bersama-sama merayakan kebahagiaan saudara kita. Maka marilah kita membawanya kedalam doa bersama...”

Doa yang dituturkan oleh sang Pastur rasanya membawa damai yang tak berkesudahan. Tapi hari ini aku tak dapat berkonsentrasi. Aku hanya ingin memandangi wajahnya, senyumnya. Maafkan aku, Tuhan.

Hingga akhirnya, sesi yang dinanti-nantikan semua orang tiba. Membuat jantungku berdegup dua kali lebih kencang. Benarkah ini saatnya?? “Anette Sidharta, apakah Anda menerima Dious Pratama dengan segenap hati Anda?” tanya sang Pastur.

“Ya. Aku menerimanya dengan segenap hatiku.” jawaban Anette terdengar begitu mantap ditelingaku.
“Apakah Anda bersedia menemani Dious Pratama dengan segala kelebihan dan kekurangannya?”
“Ya. Aku bersedia.” jawabnya dengan mantap sekali lagi.
“Apakah Anda bersedia berjanji sehidup semati dalam suka maupun duka hingga maut memisahkan kalian?”
“Ya. Aku bersedia.” dan lagi. Mungkin dua kali lipat lebih mantap.
“Maka dengan ini, kunyatakan kalian berdua sebagai sepasang suami istri yang sah di hadapan Tuhan. Semoga Tuhan selalu memberkati. Silahkan cium pengantinmu.” Pastur pun memberi berkat dihadapanku.

Tapi aku diam saja. Tak beranjak dari tempatku yang hanya berjarak 1 meter dari tempatnya. Aku tahu, aku tak bisa dan tak berhak mencium Anette meski aku ingin. Hatiku senang melihat Anette akhirnya bisa melupakanku, meski memang masih ada bagian terdalam hatiku yang tak rela. Menemukan cinta lain dalam diri Dious yang mungkin berbeda dengan cinta yang kutawarkan, tapi sama-sama membuat Anette bahagia. Aku melihat perbedaan dalam diri Anette. Begitu lepas dan bahagia. Terima Kasih Tuhan, karena telah memberiku beberapa menit untuk datang ke rumahMu di dunia ini. Untuk menyelesaikan satu tugas terberatku. Melepas Anette.. karena aku yakin saat ini ia BAHAGIA. Bersama Dious.

Share
Tweet
Pin
Share
No shoutouts

it was one of my short stories that I wrote a year ago. yet, every time i read it again and again, it gives my strength back. hope you can feel it too after you read it. enjoy (:
Aku memandang ke arah luar jendela. Entah apa yang sedang dibicarakan oleh Mama dengan dokter muda itu. Mungkin dia dokter pengganti yang dibicarakan suster Astuti tadi pagi. Yang pasti, tiba-tiba saja dokter yang menangani penyakitku mengajukan pengunduran diri terhadap kasusku. Alasannya, urusan keluarga! Bah, jaman sekarang apa masih ada ya alasan yang namanya urusan keluarga??

"Clara, Mama pulang dulu ya. Ambil baju-baju ganti yang baru buat kamu, sekalian mama mandi dan masak yang enak buat kamu. Mama tahu kamu pasti udah bosen sama makanan rumah sakit kan?" Mama tersenyum meski matanya masih merah dan bengkak karena menangis semalaman.

Aku hanya tersenyum kecil. Maafkan aku, Ma. Mama pasti sedih karena keputusanku tadi malam. Batinku miris.

Seperginya mama, dokter muda itu masih terus memandangiku dari pintu kamarku. Lama-lama aku merasa risih. "Kenapa sih, Dok, dari tadi kok diem di depan pintu aja? Masuk aja kalau emang mau masuk." kataku berusaha sopan.

"Hem, Clara," Dokter itu diam sejenak sambil membaca laporan status pasien milikku yang dipegangnya. "leukimia stadium tiga. Tidak mau operasi dan tidak mau melakukan kemoterapi. Apa itu semua benar?"

Aku terdiam sejenak. Entah kenapa, aura dokter ini terasa kuat sekali. Orang jaman sekarang sih bilangnya charming. Apa aku salah tingkah ya? "Benar, Dok."

"Boleh tahu alasannya kenapa?" tanyanya sambil berjalan semakin mendekat lalu duduk di tepi ranjangku.

Aku tersenyum sinis. "Alasannya simpel banget kali, Dok. Uang." jawabku pasti.

"Tapi orangtuamu mampu membayar operasimu, Clara, dan kamu masih bisa sembuh.."

"Ya, dengan kesempatan 50-50 kan?" potongku cepat. Aku cukup tahu resiko apa yang harus aku tanggung, Dok.

"Tapi, itu tetap kesempatan kan? Daripada nol persen?" Dokter itu tersenyum. Ganteng juga nih dokter. Hanya saja, wajahnya agak pucat jika dilihat dari jarak sedekat ini.

"Kasihan Mama Papa, Dok.. kalau operasinya gagal.."

"Kenapa kamu berpikir operasinya akan gagal?"

"Karena kita, manusia, harus selalu melihat dari segi kemungkinan terburuk yang akan terjadi dong, Dok.."

"Terus kalau operasinya berhasil?" Dokter itu teteup aja keukeh.

"Apa dokter bicara seperti ini karena suruhan mama? Udahlah, Dok, keputusan Saya udah seratus persen. Saya mau pulang aja. Mau menikmati sisa hidup Saya." kupalingkan wajahku ke arah lain. Ingin sekali aku menangis. Siapa yang mau punya penyakit seperti ini??? Aku anak tunggal di keluargaku. Aku mencintai kedua orangtuaku. Aku belum bisa membalas semua kebaikan dan pengorbanan yang sudah mereka berikan padaku. Lalu tiba-tiba vonis itu datang begitu saja, bahwa aku mengidap leukimia dan waktu hidupku diperkirakan tinggal satu tahun lagi.

Padahal, tahun depan aku tinggal mengurus skripsi kuliahku. Tahun depan, aku masih ingin bekerja, sama seperti teman-teman yang lain. Ingin merasakan bagaimana rasanya jadi pegawai biasa yang dibentak-bentak atasan, meski Papa ngotot kalau aku cukup bekerja di perusahan Papa yang super duper besar itu.

Aku masih ingin merasakan yang namanya jatuh cinta, karena selama ini aku selalu berprinsip bahwa pelajaran lebih utama dan selama masih muda, carilah teman sebanyak mungkin, masih ingin merasakan nikmatnya shopping bersama sahabat-sahabat tercintaku, Siska, Anna, dan Kimi, juga ingin nongkrong di kafe-kafe langgananku, ingin bermain bersama anak-anak asuhku..

"Kadang Saya ngga habis pikir bahwa orang sepesimis kamu bisa memiliki yayasan asuh anak terlantar sebesar Yayasan Kasih." kutoleh dokter itu cepat. Ia berdiri dan berjalan ke arah jendela kamar yang menghadap ke taman. Aku benar-benar terkejut. Bagaimana dia tahu?? Hanya keluarga dan sahabat-sahabatku yang tahu tentang hal itu.

"Darimana Dokter tahu? Apa dari Mama?" selidikku.

"Percaya atau tidak, Saya punya indera keenam." Dokter itu tersenyum lagi. Duh, gantengnya.

"Saya ngga percaya yang begituan, Dok."

"Hahaha. Saya cukup tahu kamu, Clara. Details paper. Tapi tidak secara personal."

"Dokter menyelidiki Saya?" aku memicingkan mata curiga.

"Clara, langsung saja ke pokok permasalahan, lakukan operasi itu." tatapannya benar-benar tajam.

"Kenapa, Dok?? Saya ngga mau kecewa."

"Ada beribu-ribu bahkan berjuta-juta alasan kenapa kamu harus melakukan operasi, Clara. Kenapa kamu harus sembuh."

"Name it." tantangku.

"Oke. Pertama, siapa yang akan mengurus kedua orangtuamu jika kamu harus pergi sekarang? Kedua, bagaimana perasaan kedua orangtuamu, keluarga, kerabat dekat, sahabat, dan teman-temanmu jika harus kehilangan kamu? Bahkan orang yang membenci kamu? Mereka pasti kehilangan saingan yang cukup berat.." penjelasannya berhenti sejenak.

Mau tak mau aku tersenyum mendengar penjelasan terkahirnya. "Not bad.."

"Ketiga, siapa yang akan mengurus yayasanmu? Tentu kamu tahu, tidak ada yang menyayangi anak-anak lebih besar dari kasih ibu kandungnya sendiri. Bagaimana perasaan mereka juga? Kehilangan sosok sandaran yang nantinya bisa mereka banggakan, mereka pamerkan pada teman-teman mereka? Well, count that as four and five.

"Wowowo.. kalau itu berlebihan bagnet, Dok." sejak tadi Clara tak berhenti tersenyum. Senang juga rasanya dipuji-puji terus seperti ini. Rasanya, tidak pernah ada orang yang pernah melihat detil kebaikannya hingga sedetil ini.

"Tapi itu memang kenyataan, Clara. Kamu kaya. Siapa yang mau membantah? Tapi di usia mu yang dini, kamu sudah bisa mendirikan Yayasan Kasih, meski tak lepas dari peran orangtuamu. Bisa menjadi panutan teman-temanmu bahwa menjadi orang kaya tidak harus berpenampilan mewah dan hidup glamor. Ikut berpartisipasi dalam banyak kegiatan sosial.."

"Itu semua ajaran Mama dan Papa. Cukup memuji Saya, Dok." mukaku bersemu merah pastinya sekarang. Malu abiss.

"Jadi, perlu saya teruskan sampai seribu??" kali ini dokter itu yang menantang.

Aku menggeleng cepat. "Saya percaya details paper Dokter pasti tebel banget." tak lupa tersenyum manis.

"Kamu tahu, Clara, menyerah dan pasrah tanpa melakukan usaha apapun itu juga berdosa, karena itu berarti kamu tidak menghargai apa yang kamu punya. Tidak menghargai orang yang telah ditemukan orangtuamu yang mau mendonorkan sum-sum tulang belakangnya, tidak menghargai orangtuamu yang tentu sudah bersusah payah mengumpulkan uang supaya kamu bisa operasi, tidak menghargai doa dan dukungan teman-teman, keluarga, anak asuh.."

"Oke.. oke.. cukup.. Dokter ini bener-bener mau ngebuat Saya merasa bersalah banget ya??" ejekku tapi tetap sambil tersenyum. Yap, aku sama sekali tidak marah. Semua yang dikatakan Dokter ini benar. Benar semuanya. Ya Tuhan, ampuni hambaMu yang tidak tahu berterimakasih ini. Setan apa yang merasuki pikiranku waktu itu ya??

"Hahaha. Lihatlah bahwa ada banyak orang yang belum siap kehilangan kamu, Clara. Termasuk Saya." dengan posisinya yang kembali menghadap ke taman, aku tidak bisa melihat raut mukanya. Apakah dia serius? Well,

"Maksud Dokter?"

"Kamu berjanji mau melakukan operasi, Clara?" dia mengalihkan topik pembicaraan.

"Tapi, tadi.."

"Berjanjilah kamu mau melakukan operasi, Clara. Miracle does happen to those who belief." Aku menganggukan kepala tanpa sadar karena melihat tatapannya. Matanya yang bulat dan jernih itu.

"Saya tahu. Janji seorang Clara pasti ditepati." katanya tersenyum. Makin gantennggg deh, Dokk!! "Satu lagi, Clara.."

"Yaitu?"

"Berjanjilah kalau kamu akan berusaha bertahan. Berusaha melakukan yang terbaik di meja operasi." kini jelas, matanya pun menyiratkan kekhawatiran.

Aku mengagguk sekali lagi. "Pasti, Dok."

"Saya lega mendengarnya, Clara. Tugas Saya sudah selesai disini." Dokter itu melepas baju dokternya dan melemparkannya ke sofa di pojok ruangan. Aku kebingungan menatap dokter itu.

"Lho, lho.. maksud Dokter?"

"Aku bukan dokter, Clara. Aku hanya seorang laki-laki biasa yang kebetulan lewat didepan kamar kamu." wow, sekarang ngomongnya jadi aku-kamu nih. Okay dehh..

"Jadi, kamu siapa? Malaikat penyelamat?" senyumku masih mengembang.

"We'll find out later, Clara, because I'm going to come back here and claim your promise." sahutnya renyah sambil berjalan keluar kamarku.

"Tunggu. Ngga bisa gitu dong. Masa aku ditinggal disini sendirian?" ya ampun. jangan bilang aku lagi flirting ke dia.

"Believe me, the first person you'll see after those operation is me. And my name is Dome, by the way.. Have a good day, Clara. Remember to fulfill your promise.." dia melambai lalu menghilang dari depan pintu kamarku. Dome? Dome siapaa?? apa aku pernah tahu dia??

Pikiranku hanya teralihkan sebentar sebelum suara teriakan Mama dan Papa mengagetkanku. "Claraaaa, sayangg... bener kamu mau di operasi sayang??? Serius kann?? Dome bilang.. ups."

"Hayoooo... Mama kenal Dome yaa?? Berarti Dome suruhan Mama kannn??? Cepet banget tahu aku mau dioperasii??" tak kusembunyikan tawa bahagiaku. Dan melihat wajah Mama dan Papa yang begitu senang dan gembira, aku akan melakukan apapun untuk tetap melihat mereka seperti itu.

Apapun.


29 Januari 2010
01.53
Singapore Time

Copyright by Kezia Renata
Share
Tweet
Pin
Share
No shoutouts
"Ya ampun, Naa.. aku ngga nyangka bentar lagi kamu nikah." seru Trisha senang.

Hari ini mereka bertiga, Anna, Trisha dan Ken akan berkumpul di apartemen Trisha untuk merayakan hari terakhir Anna single. Waktu terasa berjalan begitu cepat. Sekarang sudah pukul 22.10, tapi Ken belum juga datang.

"Iya. Aku juga ngga nyangka kalau aku yang bakal nikah pertama dari kalian semua. Aku kira malah kamu duluan, Tris. Padahal kamu kan udah pacaran hampir 5 tahun sama Nick. Apa ngga mau buruan diresmiin?" goda Anna.

"Ngga, Na. Aku masih belum yakin.." tiba-tiba Trisha jadi muram.

"Kenapa, Tris? Kamu bisa cerita kok.." Anna memegang tangan Trisha lembut.

"Ngga, Na. Ini kan malam kamu. Kamu jangan mikirin apa-apa yah. Besok kamu udah nikah. Itu aja yang perlu kamu pikirin." Trisha jadi merasa tidak enak.

"Plis deh, Tris. Kamu lagi ngomong sama aku. Bukan sama orang lain." paksa Anna sedikit.

"Hahaha.. kamu tahu aku lah, Na. Aku ngga percaya sama lembaga pernikahan. Kenapa kita mesti menikah kalau ujung-ujungnya cinta itu bakal hilang?" jawab Trisha sambil tersenyum lalu senyumnya berubah masam ketika melihat raut wajah Anna pucat pasi. "Ups."

"Tris, apa semua pasangan begitu? Cinta bakal hilang dari antara mereka?"

"Hh, An, aku sayang sama kamu. Aku ngga pengen ngeliat kamu luka cuma gara-gara pernikahan. Aku ngga kayak kamu, An, yang selalu positive thinking atas semua hal. Atas semua orang. Aku orang yang percaya angka. Statistik. Karena hanya angka yang punya jawaban pasti, An." Trisha mendesah malas. "Tapi itu juga tidak berarti bahwa kamu harus melakuan hal yang sama denganku. Karena tidak seratus persen juga aku tidak percaya dengan happily ever after, karena aku tahu beberapa orang yang seperti itu. Tetapi seperti yang kukatakan tadi, hanya beberapa dari sekian banyak pernikahan."

"Tapi kamu bisa bertahan 5 tahun dengan Nick.." bela Anna. Anna tahu bagaimana pola pikir Trisha. Tapi ia tidak menyangkan bahwa Trisha benar-benar tidak memikirkan pernikahan. Bayangkan saja, hubungan Trisha dan Nick sudah hampir 5 tahun, tapi Trisha bertindak seolah-olah mereka baru saling mengenal. Lalu bagaimana dengan dirinya yang baru mengenal Bobby selama 2 tahun?? Apa Bobby memang orang yang tepat? Ataukah.... orang lain?

"Hahaha.." Trisha tertawa kecil. "Aku mengenal Nick selama 5 tahun, ya. Tapi aku belum tinggal bersama Nick selama 5 tahun. Bagaimana aku bisa tahu apa yang akan aku jalani, Na? Butuh waktu 5 tahun untuk benar-benar bisa mengenal Nick luar dalam. Butuh waktu 5 tahun untuk benar-benar mengetahui kebiasaan Nick ketika dia benar-benar sedang happy, ketika dia sedang baik, ketika dia sedang ngga mood, ketika dia sedang tidak ingin bicara, ketika dia marah-marah, ketika dia bosan dengan ocehanku, ketika dia menyembunyikan sesuatu dariku, ketika dia membuatku benar-benar marah, ketika kita selesai bertengkar, yang bisa terjadi hampir setiap hari, dan masih jutaan ketika yang aku belum ketahui.." tiba-tiba kini Anna berpikir bahwa mungkin jalan pikirnya selama ini salah. Bahwa dunia ini benar-benar kejam. Bukan lagi sebuah fairy tale seperti yang sering didongengkan ibunya waktu ia kecil. Bukan lagi sebuah happily ever after karena Bobby benar-benar begitu baik padanya. Ia bahkan hampir tidak pernah bertengkar dengan Bobby. Bobby selalu mengalah padanya. Beberapa menit yang lalu, Anna berpikir bahwa Bobby adalah pasangan yang perfect untuknya. Pangeran penunggang kuda putih yang telah menunggu dirinya bangun dari tidur panjang. Tapi, sekarang, semuanya terasa janggal jika harus dipikirkan dengan logika, seperti penjelasan Trisha.

"Trish, apa menurutmu keputusanku menikah benar?" tangan Anna kini gemetaran. Badannya mulai basah dengan keringat dingin.

"Ya ampun, Anna. Tentu saja benar karena ini yang kamu inginkan, bukan??" Trisha terkejut melihat Anna yang menggigil.

"Tris, plis kasih aku satu alasan saja kenapa aku tepat menikahi Bobby?" pinta Anna. Tak terasa air matanya menetes.

"Anna.. sshh.. Sorry, Na. Aku sama sekali ngga bermaksud.."

"Plis, Tris.. satuuu aja. Kamu juga kenal Bobby kan.." Anna masih menangis didalam pelukan Trisha, sedang Trisha bingung harus menjawab apa.

"Emm, Bobby itu cocok banget sama kamu, An.. dia ganteng, kamu cantik.." Trisha nyengir karena Anna melotot ke arahnya.

"Serius, Triss!" Anna mendesah lalu menangis lagi. "Aku tahu selama ini aku ngga pernah nanya pendapat kamu sama Ken tentang Bobby. Maka itu, sekarang, plis kasih aku pendapat tentang Bobby. Terlebih kamu lebih berpengalaman dalam berhubungan seperti ini dan bisa lebih berpikir rasional."

"Na, dengar, aku bicara seperti ini karena aku merasa belum yakin dengan Nick. Bukan tentang kamu dan Bobby. Kamu sudah merasa cocok. Kamu sudah yakin. Jadi plis jangan mikir aneh-aneh hanya karena mendegar aku ngoceh ngga karuan." Trisha berusaha menenangkan. "Ingat, Na. Ini pilihan kamu. Kamu harus konsekuen dengan pilihan yang sudah kamu buat dalam hidup kamu, meski itu berakhir buruk ataupun bagus. Bagaimana nasib Bobby, keluarganya, dan keluargamu? Apalagi pihak wanita yang membatalkan, pasti banyak gunjingan dari orang-orang. Pikirkan juga pihak tamu yang sudah datang. Anna, kamu menikah di hadapan hampir 500 tamu! Jangan melakukan hal yang akan kamu sesali nantinya!"

"Lalu, kalau nanti pernikahanku dengan Bobby tidak berjalan lancar??"

"Hey, that's why I'm here, beb.. Aku yang akan menghajar Bobby sampai mampus." Trisha tersenyum melihat Anna berhenti menangis dan mulai tersenyum.

"Aku takut, Tris."

"Begitu juga aku, An. Begitu juga aku." Trisha memeluk Anna erat. Tidak yakin bahwa semua ini benar. Hatinya mengatakan bukan Bobby orang yang tepat. Tapi, kenyataannya hati Anna berkata lain.

"Tapi, Tris, semua yang kamu bilang itu juga ngga salah. Aku baru mengenal Bobby 2 tahun. Mungkin saja Bobby belum menunjukkan sifat-sifatnya yang asli. Gimana kalau ternyata nanti aku korban KDRT? Gimana kalau ternyata Bobby gampang selingkuh? Gimana kalau Bobby ternyata nanti merasa tersaingi karena aku juga bekerja dan berpenghasilan sama dengannya? Gimana, Tris?"

"An, jujur, aku ngga tahu jawabannya karena aku belum pernah berada di dalam posisi itu. Aku pengecut, An. Maka itu kamu majulah. Percaya dengan instingmu. Percaya kalau kamu pasti bisa ngatasin semua itu. Kamu tahu ngga, kalau terkadang positive thinking adalah kekuatan terbesar yang bisa dimiliki oleh seseorang?"

"Jadi kamu menyarankan aku maju?" Anna menatap Trisha sambil tersenyum.

"Bukan aku yang memutuskan kamu harus maju atau mundur, An. Dengarkan kata hatimu. Dengarkan instingmu." Trisha tersenyum.

"Thanks, Tris." Anna balas tersenyum. "Oh ya, by the way, Ken dimana yah? Masa udah jam segini dia belum pulang kerja sih? Udah lama banget aku ngga ngobrol-ngobrol serius bareng Ken. Tapi, kayaknya dia berubah deh ya, Trish. Apalagi semenjak aku mutusin nikah sama Bobby. Atau itu hanya perasaanku saja ya?"

Oh, dear.. batin Trisha kecut. Bagaimana dia harus menjelaskan pada Anna? Trisha benci berada di posisi seperti ini. Ini sebabnya Trisha selalu menjaga jarak dengan Ken. Dia orang yang berpikiran secara realistis dan tidak ingin pikirannya dikendalikan oleh emosi. Don't you know, dear, that man and woman can not be just best friend??

"Emm, Ken.. kayaknya dia lagi sibuk aja deh, Na... em, kayaknya dia lembur juga deh hari ini." dusta Trisha.

"LEMBUR??" jerit Anna. "Lembur katamu??" jerit Anna lagi lebih keras. Kadang Trisha heran dengan sahabatnya ini. Di satu kondisi dia bisa sangat melankolis, di satu kondisi dia bisa sangat tegas, di satu kondisi dia bisa sangat dewasa, ataupun seperti anak-anak. Pernah Trisha berpikir bahwa Anna punya banyak kepribadian.

"Plis, Na.. ini udah hampir jam sebelas malam. Kecilin volume suara kamu."

"Tapi, Tris.. KEN LEMBUR DI HARI TERAKHIR AKU SINGLE!! CAN YOU BELIEVE THAT??" Anna menekankan setiap katanya dengan nada tinggi tapi sambil setengah berbisik.

"Emm, Na.." Trisha mulai gelisah. Dia bukan tipe penipu yang hebat. Ken salah mempercayainya dalam hal seperti ini.

"Tris.. Apa ada sesuatu?" Anna memicingkan matanya. "You're not such a good liar, you know?"

Belum sempat menjawab, handphone Trisha berbunyi nyaring. "Bentar, Na." Trisha menghampiri handphonenya dan melihat sederet nomor yang tidak terdaftar di phonebooknya.

"Siapa, Trish?"

"Ngga tahu nih. Nomor ngga kenal." tapi Trisha tetap mengangkatnya. "Halo? WHAT??" seru Trisha kencang sebelum menutup telepon itu dan berlari ke pintu depan.

"Kenapa, Tris??" Anna ikutan panik.

"Barusan itu teman Ken, katanya Ken mabuk berat. Dia ngga berani nganter Ken pulang rumah karena ngga ada yang bakal bantuin dia. Jadi dia anter kesini."

"Hah?? Ngapain sih Ken ituu??" seru Anna ikutan cepat-cepat ke pintu depan.

"Hai." sapa seorang teman kerja Ken kalau Trisha tidak salah mengingat.

"Aku ngga mabuk!!" seru Ken sambil sempoyongan berjalan memasuki rumah Trisha.

"Hai. Thanks udah bawa Ken kesini." Anna dan Trisha membantu Ken berjalan.

"Oke, no problem. Night, girls." teman Ken itu berbalik dan meninggalkan apartemen Trisha.

"Ya ampun, Ken. Ngapain sih kamu pakai acara mabuk segala?? Ini katamu lembur, Tris??" sindir Anna.

"Mana aku tahu, An. Kan Ken yang bilang ke aku. Emang aku mesti mastiin ke kantor dulu gitu?"

"Aku ngga mabuk, teman-teman. Chill!" Ken menjauh dari bantuan Trisha dan Anna lalu berusaha keras berjalan ke sofa terdekat.

"Ken, kamu jelas mabuk. Jalan kamu tuh ngga lurus." Anna kekeuh menghampiri Ken yang lalu di dorong oleh Ken hingga hampir terjatuh.

"KEN!" seru Trisha sambil menangkap Anna sebelum ia terjatuh.

"Kamu kenapa sih??" seru Anna marah.

"Aah. Urus aja urusanmu sendiri! Ngga usah sok peduli sama aku!" Ken terduduk sambil memejamkan matanya. "Brengsek tuh Roy! Udah aku bilang suruh anter pulang malah anter kesini!"

"Ken.." Anna menghampiri Ken perlahan lalu berjongkok di hadapan Ken sehingga wajahnya sejajar dengan lutut Ken. Dipegangnya lutut Ken lembut. "Ken, kamu tahu kan kalau kamu bisa selalu cerita ke kita? Kita pasti bantu kamu."

Trisha memandang Ken dari jarak jauh sambil menghela nafas. Oh, dear, Anna, kamu memperburuk situasi dengan berkata seperti itu. batin Trisha trenyuh.

"Ken.. plis bilang sesuatu. Kamu ngga apa-apa kan?"

"Ngga apa-apa??" seru Ken tiba-tiba. "Apa sih mau kamu, An?? APA??" Ken mengibaskan tangan Anna di pangkuannya.

"Kenn.." Anna tidak percaya Ken memperlakukannya seperti itu. Sepuluh tahun mereka berteman, Ken tidak pernah memperlakukannya seperti ini. "Kamu kenapa??"

"Aku bilang ngga usah sok peduli! Urus aja urusan kamu sendiri! Dalam.." Ken menggulung lengan bajunya kasar untuk melihat jam. "Dalam 8 jam lagi kamu akan menikah. Tidur sana!" perintah Ken kasar.

"Ken.."

"An.." Trisha menahan Anna. "Yuk, ke atas." Trisha menatap Anna gelisah.

"Trisha!" pekik Anna marah. "Bagaimana mungkin kamu bisa bohongin aku?? Kamu tahu ada apa dengan Ken kan?? Maka itu kamu berbohong kalau Ken sedang lembur! Ngga! Kamu tega banget sama aku, Tris.."

"Na.. aku.."

"Bilang sekarang sama aku, ada apa dengan Ken??" Trisha menatap Ken sambil terdiam.

"Trisha!! Ya Tuhan, Trisha, kamu ngga kasihan ngeliat Ken seperti itu?? Kita harus bantu Ken cari penyelesaiannya!"

"Kamu kira kamu bisa kasih penyelesaiannya, huh, Na?? Kamu kira semua masalah itu bakal selalu berakhir bahagia?? Bahwa semua masalah selalu punya penyelesaiannya??" jerit Ken marah yang membuat Trisha dan Anna tersentak mundur beberapa langkah.

Anna dengan sedikit menahan ketakutannya, menjawab Ken dengan yakin. "Ya, Ken. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya."

Ken menatap Trisha sekilas dengan pandangan marah yang dibalas Trisha dengan gelengan kepala cepat, menjawab Anna dengan suara sinis sambil melempar handphonenya ke arah Anna. "Maka penyelesaian happy ending untuk masalahku adalah batalkan pernikahanmu dengan Bobby."

"Apa maksud kamu Ken?" Anna terkejut mendengar penuturan Ken.

"Oh, please, An.. Stop pretending that you do not love me!" bentak Ken marah.

Anna menangkap handphone itu dengan terkejut dan melotot memandangi Ken dan Trisha bergantian. "Oh shoot, I forgot about that reason too.." kata Anna lemas.

Trisha menatap kedua sahabatnya itu tidak percaya. "What the hell is going on in here, Guys??"

Namun tangan Anna terlanjur bergerak gelisah dengan handphone Ken di tangannya.



20 March 2010
02.01 am

Singapore time

Copyright by Kezia Renata.

Share
Tweet
Pin
Share
No shoutouts
Older Posts

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube
  • Natalie Jacob
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email Coin A Chance Diana Rikasari Fonny Jodikin Ika Natassa Jenny Jusuf Judy Wilhelmina Kota Kita Kristy Nelwan My Milk Toof Pandji Pragiwaksono Pena dan Cerita Pinot and Dita Plot Point Radio PPI Dunia Ribka Anastasia Sitta Karina Ve Handojo Yummy Corner by Ditut

Categories

Blog Archive

  • September 2013 (1)
  • August 2013 (1)
  • May 2013 (2)
  • October 2012 (1)
  • August 2012 (2)
  • May 2012 (2)
  • February 2012 (2)
  • January 2012 (1)
  • December 2011 (1)
  • October 2011 (2)
  • September 2011 (1)
  • May 2011 (1)
  • April 2011 (3)
  • March 2011 (5)
  • February 2011 (4)
  • January 2011 (2)
  • November 2010 (4)
  • October 2010 (1)
  • September 2010 (1)
  • August 2010 (2)
  • July 2010 (3)
  • June 2010 (1)
  • May 2010 (1)
  • April 2010 (3)
  • March 2010 (4)

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates